Hukumnya merasa sial, meramal (Thiyarah)

Dahulu orang arab jahiliyah sering menjadikan burung sebagai tanda baik dan buruknya sebuah hari sebelum mereka bepergian atau perjalanan berdagang, karena mereka percaya apakah hari itu sial atau tidak dapat ditentukan oleh kemana arah burung terbang. Misalnya salah seorang dari mereka memegang burung lalu melepaskannya. Jika burung itu terbang kearah kanan maka ia optimis sehingga melangsungkan pekerjaannya, sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri maka ia merasa bernasib sial dan mengurungkan pekerjaan yang diinginkannya.

Anehnya tradisi jahiliyah seperti itu masih melekat pada sebagian kaum muslimin saat ini. Misalnya meyakini ada hari yang sial, benda yang sial, pakaian yang membawa sial, warna yang sial, angka yang sial dan sebagainya.

Contoh lain, misalnya tidak mau melakukan pernikahan pada bulan shafar. Percaya hari rabu adalah hari sial. Termasuk juga merasa sial dengan angka angka tertentu, nama-nama tertentu atau orang cacat. Misalnya, jika ia pergi membuka tokonya lalu di jalan melihat orang buta sebelah matanya, serta merta ia merasa bernasib sial sehingga mengurungkan niat membuka toko. Juga berbagai kepercayaan yang semisalnya.

Perkara ini termsuk pada kesyirikan, yaitu mempercayai keburukan yang datangnya dari benda benda tersebut dan di atas atau sebaliknya percaya pada benda yang sangat membawa pada keberuntungan, jimat misalnya, atau patung kucing lucu yang kepercayaannya dapat memanggil hoki atau rezky, maka sungguh itu perbuatan syirik. “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik [HR Imam Ahmad :4/ 156 dan dalam silsilah hadits shahihah hadits No : 492].

"Sesungguhnya pengobatan dengan mantra-mantra, kalung-gelang penangkal sihir dan guna-guna adalah syirik. (HR. Ibnu Majah)

Didalam Islam kpercayaan (ramalan) terhadap sial seperti itu disebut " Thiyarah ".

“Thiyarah adalah syirik”

Termasuk dalam kepercayaan yang diharamkan, yang juga menghilangkan kesempurnaan tauhid dan tawakkal kepada Allah.Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berlepas diri dari mereka. Sebagaiman adisebutkan dalam hadits riwayat Imran bin Hushain :

“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan (dan saya kira juga bersabda) dan yang menyihir atau yang meminta disihirkan [Hadits riwayat at Thabrani dalam Al Kabir : 18 / 162, lihat shahihul jami’ no : 5435].

Untuk menghilangkan was was atau godaan iblis yang meyakini bahwa itu sial maka bertawakkal lah kepada Allah....Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : (Thiyarah) Ramalan mujur-sial adalah syirik. (Beliau mengulanginya tiga kali) dan tiap orang pasti terlintas dalam hatinya perasaan demikian, tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakal. (HR. Bukhari dan Muslim)Allahu a'lam

[ Abdullah Hamza ]

Maraji :
* Dosa - dosa yang di anggap biasa, Muhammad shalid al-munajjid
* Bimbingan untuk pribadi dan masyrakat
* 1100 hadits terpilih, (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Perbedaan Istilah Al-Hadits dan As-Sunnah

Istilah  Al-Hadits dan As-Sunnah sering kita campur adukkan atau menganggapnya sama saja, padahal dalam ulumul hadits tidaklah demikian. Memang di antara kedua istilah itu ada kesamaan, tapi sesungguhnya tetap ada perbedaan.

Istilah Al-Hadits tidak hanya mencakup apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam saja, tetapi juga apa yang menjadi ucapan dan perbuatan para shahabat , juga ucapan dan perbuatan ulama tabi'in (pengikut shahabat) juga termasuk di dalam hadits. Karena itu didalam Kitab ulumul hadits kita mengenal istilah hadits mauquf dan hadits maqthu.’ Sedangkan hadits marfu' adalah hadits yang disandarkan kepada rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits mauquf adalah hadits yang periwayatannya tidak sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi hanya sampai kepada ucapan shahabat saja mitsal sebuah hadits mauquf dari penuturan Ibn Jarir bin abdillah al - bajjali r.a sebagai berikut :"Kami memandang bahwa berkumpulnya orang - orang di tengah tengah keluarga mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga mayit setelah penguburannya adalah bagian dari perbuatan niyahah (Meratapi mayat) " (HR Ahmad dari Ibn Majah) [1]

Hadits ini menunjukkan ungkapan dari shahabat Ibn Jarir bin abdillah al - bajjali dan beliau tidak menyandarkan hadits ini kepada rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena memang hadits ini periwayatannya hanya pada level shahabat.Dan hadits ini di takhrij oleh imam ahmad dari Ibnu majah.

Hadits mauquf dalam istilah ulama Fuqaha (ahli fiqih) khurasan mereka menyebutnya hadits atsar. [2]

Sedangkan Hadits maqthu’ adalah hadits yang periwayatannya ucapan dan perbuatan hanya sampai ke level ulama tabi’in 1 (pengikut shahabat).

Sedangkan ketika kita menyebut istilah As-Sunnah, maksudnya selalu adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saja, dan bukan sunnah dari para shahabat beliau.Sunnah menurut para ahli hadits adalah segala sesuatu yang dikutip dari rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baik yang berupa ucapan, perbuatan, pengakuan, atau sifat fisik dan akhlak ataupun perjalanan hidupnya.[3]

Sedangkan menurut istilah disiplin ilmu ahli ushul, bukan menurut ahli fiqih. Menurut disiplin ilmu ushul fiqih , sunnah adalah : "Segala yang diriwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (sikap mendiamkan sesuatu yang dilihatnya). [4]
Allahu a'lam

[ Abdullah Hamza ]

Catatan kaki:
[ 1 ] Ust Arief B. Iskandar , risalah tahlilan menurut aswaja
[ 2 ] Ibnu Nashirudin Al-Dimasyqi, Mutiara ilmu atsar kitab klasifikasi hadits
[ 3 ] Taujih an-Nazhar oleh al- jaza 'iri dalam kitab karya Ibnu Nashirudin Al-Dimasyqi, Mutiara ilmu atsar kitab klasifikasi hadits
[ 4 ] Ahmad sarwat LC, Bab as-sunnah dalam kitab seri Fiqih kehidupan.
luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com